Pengakuan,
itulah yang aku cari selama ini. Pengakuan tentang keberadaanku, tentang
keadaanku
dan tentang perasaanku. Tak ada satupun yang
mempedulikanku. Bahkan
melihatku saja tak pernah. Seberapakah mereka membenciku. Aku
akui, aku hanya manusia
biasa yang tak memiliki keistimewaan, tak punya apa-apa dan tak
begitu pandai. Aku pernah
menyatakan dalam hidupku,
kepandaian bukanlah segalanya. Percuma kita pandai bila kita
akhirnya tak bisa melakukan apa-apa.
Pagi ini
terasa dingin, hingga terasa menusuk tulangku. Sebuah jaket kuraih dan aku
pakai.
“Hm... baunya tetap sama, tak ada yang
berubah. Aku jadi rindu pada
dia”
dalam
batinku.
Aku beruntung
dalam hidupku, aku memiliki kekasih yang tulus mencintaiku, dan tak
memandang pada apa yang kumiliki. Dia tinggi, tampan dan pintar,
aku bingung kenapa dia
lebih memilih aku dari pada
wanita lain yang lebih sempurna dariku. Dan dia menjawab
bahwa aku berbeda dari wanita lain, hatiku baik. Aku beruntung
dalam hidupku, bahwa dia
selalu menjaga ku siang dan
malam sampai pada akhirku.
Aku sering berdoa
pada Tuhan
semoga aku selalu
bersamanya dalam suka maupun duka di tiap hariku dan berakhir pada
pelaminan. Aku memang
terhitung masih kecil namun pemikiran ku sudah sejauh itu,
mungkin karena aku tak ingin kehilangan dia, orang
yang menghargaiku sebagai manusia
yang seutuhnya.
Jam
menunjukkan pukul 04.30 wib, aku
pun bergegas pergi ke kamar
mandi untuk
mandi agar kegiatan ku hari ini
terasa agak ringan. Setelah mandi
aku bergegas memakai
seragam
putih abu-abu ku tapi tiba-tiba setetes darah keluar dari hidungku dan mengenai
jari
ku. Seketika aku berlari
menuju kamar mandi dan
langsung mengusap semua darah yang
keluar dari hidung ku.
“ ya Tuhan kenapa aku??” batinku. Tak lama
kemudian darah pun berhenti keluar
dan ku mulai selesai membesihkannya. Aku berharap tak ada yang tau
tentang penyakit yang
kualami ini. Setelah itu ku mulai mempersiapkan semua peralatan sekolah
yang akan aku.
bawa. Tak berapa lama kepala ku terasa pusing,
aku hanya diam saja sambil
memejamkan
mata dan memegangi
pelipisku, agar tak ada orang yang
tau. Sekarang waktunya aku
berangkat
sekolah, rasa sakit pun tak ku hiraukan sedikitpun. Disekolah aku bahagia,
senang
dan bebas apalagi semua mengakui keberadaanku. Aku memang sedikit
agak humoris namun
jika aku bosan aku akan diam dan tak mengeluarkan sepatah kata
apapun, namun itu jarang
terjadi padaku.
Pelajaran pertama dimulai, pagi
ini dimulai dengan mata pelajaran KKPI.
Aku dan
sahabatku sangat menyukai pelajaran ini. Setiap ada ujian praktek
aku dan sahabatku selalu
selesai duluan. Sahabatku bernama (*)Laura. Dia
mempunyai karakter yang agak
keras
namun dia juga lembut dan aku paling suka bahwa dia juga setia
kawan. Aku, (*) Laura dan
kekasihku yang bernama Ahmad (:*) bersahabat baik, bila salah satu
dari kami yang kesusahan
kami selalu saling membantu.
Sore harinya
aku pulang sekolah dengan diantar Ahmad (:*). Kepalaku terasa pusing
“Aww… kepalaku” teriakku
sambil memegangi pelipis
“Kenapa yank
kepalanya??” tanya nya.
“umbb ...
enggak apa-apa cuma pusing kok yank,” jawabku.
“ ya sudah
kita istirahat di masjid dulu ya??” ajaknya.
“iya” jawabku.
Kami berdua
pun menuju masjid terdekat dari perjalanan kami. Dan setelah sampai
kami pun duduk di serambi masjid.
“yank, kamu
kenapa?? Muka kamu pucat loh, trus badan kamu panas lagi!!”
tanyanya sambil menaruh telapak tangannya di dahiku.
“enggak apa-apa
kok yank” jawabku.
“enggak apa-apa gimana??, kamu itu lagi sakit, ini
pakai saja jaketku” katanya
sambil menyodorkan jaketnya.
“pakai ya …!!
Aku ngak mau kamu kenapa-kenapa yank, aku itu cinta banget sama
kamu, aku pengen kamu jadi yang pertama dan terakhir buat aku” katanya
sambil menaruh
jaketnya dipunggungku.
“iya” jawabku
sambil tersenyum.
Setelah agak
lama di masjid itu kami berdua kembali meneruskan perjalanan menuju
rumah ku. Akhirnya kami sampai dan dia kembali pulang.
Dirumah, neraka dunia yang aku rasa. Ketidak
adilan selalu menyertai hari-hariku.
Aku selalu di salahkan, padahal aku tidak melakukan kesalahan. Pernah aku kabur dari
rumah, tapi ketahuan orang rumah dan setelah itu aku dimarahi
habis-habisan. Di rumah aku
hanya
berdiam diri dan tak pernah komunikasi dengan keluarga. Bagaimana
berkomunikasi??
Saat aku tanya mereka,
mereka tak ada yang
menjawab dan malah pergi
menjauhiku. Bila
aku sakit tak ada satu dari mereka yang khawatir padaku.
Hari
berikutnya, sore ini aku di antar pulang Ahmad (:*). Kepalaku terasa pusing dan
kami berhenti di salah satu musholla.
“yank, kamu
minum obat ya biar cepat sembuh” bujuknya.
“enggak, aku
enggak mau minum obat. Percuma aku sembuh kalo enggak ada yang
peduli sama aku, keluargaku enggak ada yang peduli ama aku sampek
aku sakit begini tetap
ngak ada yang peduli” kataku.
“yank, please.
Aku ingin kamu sembuh, aku pengen
menuhin janji aku buat nikah
sama kamu, aku ingin setia sama kamu, enggak bakal ada yang bisa
gantiin kamu di hatiku”
katanya sambil menitikkan airmata.
“kenapa setia
sama aku?? Kan masi banyak cewek yang lebih sempurna dari aku.”
tanyaku sambil mengusap air mata di pipinya.
“karena kamu berbeda yank, kamu enggak kayak
cewek lainnya” Jawabnya. Aku
hanya tersenyum dan seketika badanku lemas dan aku jatuh di
pelukkannya.
“kamu enggak
apa-apa” tanyanya. Aku hanya mengangukkan kepala.
Setiap
harinya keadaanku bertambah memburuk. Aku tau, aku terkena penyakit
anemia akut namun yang kuberitahu
hanya Ahmad (:*) seorang
saja. Dia berusaha
menyembuhkanku namun aku sering menolak, alasanku karena aku tak
ingin merepotkan dia.
Aku sadar penyakitku dapat menghilangkan nyawa
ku, tapi aku besikukuh tak memberi
tahukan kepada siapapun. Lima hari terakhir, aku sengaja agak
manjauh dari Ahmad (:*) agar
dia tidak merasa kehilangan ketika aku pergi jauh dan tak kembali nantinya. Aku
sengaja
membuatnya jengkel padaku dan menjauh dariku dan itu sedikit
berhasil.
Hari ketiga
setelah aku menjauhinya, badanku terasa lemas, wajahku pucat dan detak
jantungku semakin cepat. Aku hanya
biasa berbaring diatas ranjang. Keluargaku hanya
menganggap aku sakit biasa.
Dan saat memanggil dokter mereka
baru sadar bahwa aku
terkena penyakit Anemia akut. Mereka menangis dan khawatir dengan
keadaanku, itu adalah
hal yang paling indah
yang pernah kurasa. Mereka
menghubungi Ahmad (:*) agar dia
menengokku. Hari ini dia
sibuk dengan tugas kuliahnya
dan dia berjanji besok akan
kerumahku.
Hari keempat
setelah aku menjauhinya, keadaan semakin buruk
aku tak bisa
mengeluarkan
kata-kata sedikitpun. Saat Ahmad (:*) datang dia kaget dengan keadaanku. Dia
berlari
menuju kearahku dengan air mata berlinang dan suara isak yang tidak terbendung
dan
aku hanya bisa tersenyum.
“Yank, maafkan aku tidak bisa
memenuhi janji setiaku sama kamu dan dengan akhir
menikah sama kamu. Hmhm…. Mungkin bila memang kita jodoh suatu
saat nanti kita akan
bertemu di surga” batinku dan aku menitikkan air mata.
Ahmad (:*) pun memegang tanganku dan menangis dihadapanku. Aku
menggelengkan kepala.
Dan dia pun berkata :
“Yank, kenapa
kamu begini, aku cinta sama kamu, aku
sayang sama kamu jangan
tinggalin aku ya??. Inget janjimu, yang kamu ingin setia sama aku
dan nikah sama aku. Tapi
kenapa kamu gini. Please ya
jangan tinggalin aku. Aku ngak bisa
hidup sendirian tanpa
kamu. Huhuhuhuhu :’( :’( “.
Seketika darah dari hidungku keluar dan Ahmad (:*) pun
mengusapnya.
Hari kelima adalah
hari yang aku anggap hari terakhir dalam hidupku, aku mampu
tersenyum di hari terakhiku
karena dia. Sahabatku (*) Laura
dan Ahmad (:*) berada di
rumahku. Mereka berdua membawakan
aku bubur, mereka berharap
aku memakan bubur
yang mereka bawakan. Namun aku tidak bisa membuka mulutku. Aku
hanya mengelengkan
kepala dan tersenyum. Badan ku semakin lemas dan inilah akhir dari
hidupku.
“Terima kasih Ahmad (:*) kamu yang selama ini
jaga aku dengan tulus, makasih (*)
Laura selama ini kamu yang sudah mau menemani hari-hariku, maaf
aku enggak bisa balas
kebaikan kalian karena kita harus bepisah sampai disini”.
(:*) pacarku tercinta
(*) sahabat terbaikku
Nb : kisah ini nyata aku alami sebelum aku pergi meninggalkan
orang yang amat serta
sangat aku cinta nan
sayang dalam hidupku
sampai rasa cinta dan sayang
ini sejajar
seperti halnya kepada orang tuaku.